Oleh: Redaksi Opini IPM Sulsel
Kasus pengungkapan seksual yang dilakukan oleh seorang pengajar terhadap santriwati adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah, nilai agama, dan kepercayaan masyarakat. Di tengah lingkungan pendidikan berbasis keagamaan, peran pengajar seharusnya menjadi simbol keteladanan dan penjaga moral, bukan pelaku kekerasan.
Peristiwa semacam ini bukan sekedar pelanggaran terhadap individu, melainkan juga kerusakan terhadap sistem pendidikan dan nilai yang tinggi di masyarakat. Ketika seorang santriwati menjadi korban, luka yang ditinggalkan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mental dan sosial.
Korban memilih diam karena takut pada stigma, tekanan dari lingkungan pesantren, atau ancaman langsung dari pelaku. Ironisnya, pelaku sering kali adalah sosok berwibawa yang dihormati, sehingga menciptakan ketimpangan kekuasaan yang membuat korban semakin tertekan.
Kita tak bisa terus berlindung di balik alasan menjaga nama baik lembaga. Yang harus dijaga pertama adalah keselamatan dan kehormatan korban. Pesantren dan lembaga pendidikan agama wajib membangun sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berpihak pada korban, dengan pengawasan yang ketat dan transparan.
Pihak yang berwenang harus turun tangan dengan serius, tanpa kompromi atau perlindungan terhadap pelaku. Pelaku harus dihukum seadil-adilnya. Sementara itu, korban harus mendapatkan perlindungan hukum, pendampingan psikologis, dan pemulihan sosial.
Kekerasan seksual tidak bisa lagi ditoleransi dalam bentuk dan alasan apapun. Ketika seorang pengajar berubah menjadi pemangsa, bukan hanya korban yang rusak, tapi juga kepercayaan masyarakat yang hancur. Sudah waktunya kita berdiri di pihak korban dan menghentikan budaya bungkam yang selama ini membiarkan kekerasan terus terjadi.