Ketika Pengajar Menjadi Pemangsa (Bagian II): Luka yang Ditanggung Santriwati dan Tanggung Jawab Kita Semua

Oleh: Redaksi Opini 

Ketika seorang pengajar yang seharusnya menjadi panutan moral dan pelindung ilmu justru menjelma menjadi pemangsa, maka yang terluka bukan hanya satu individu. 

Yang hancur adalah kepercayaan, martabat lembaga, dan harapan orang tua terhadap tempat pendidikan yang dianggap suci. 

Luka yang ditanggung oleh santriwati bukan hanya menyayat jiwa, tetapi juga menghancurkan rasa aman dan harga diri mereka.

Tindakan tercela ini tidak bisa disikapi dengan setengah hati. Tidak cukup hanya dibahas di ruang tertutup dan didiamkan demi menjaga citra. 

Pelaku harus secara sadar dan bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan di lingkungan pesantren dan dunia pendidikan.

Bukan karena didesak, tapi karena menyadari bahwa perbuatannya telah melukai masa depan seseorang yang seharusnya ia lindungi.

Pengunduran diri adalah bentuk pertanggungjawaban paling awal. 

Ini adalah langkah minimal yang menunjukkan bahwa pelaku masih memiliki sedikit kesadaran moral.

Tidak ada tempat bagi pelaku kekerasan seksual untuk tetap berada di lembaga yang mendidik anak-anak kita.

Bila ia tetap bertahan, maka yang dikhianati bukan hanya korban, tapi seluruh sistem nilai yang selama ini diajarkan di pesantren.

Institusi pendidikan harus menunjukkan keberpihakan yang jelas: membela korban, menolak pelaku, dan memperbaiki sistem.

Jangan biarkan kejahatan ini ditutupi atas nama menjaga nama baik lembaga.

Nama baik yang sesungguhnya justru dibangun dari keberanian untuk bertindak adil dan tegas.

Masyarakat, alumni, wali santri, dan seluruh elemen harus bersatu menyuarakan hal ini.

Kita tidak sedang berbicara soal pribadi, tapi soal keselamatan generasi. 

Usut tuntas, buka seterang-terangnya, dan pastikan pelaku mundur sepenuhnya dari dunia pendidikan.

Kita tidak boleh gagal bersikap. Karena jika kita diam hari ini, maka kita sedang membuka pintu bagi kejahatan yang sama terjadi kembali besok. Sudah cukup luka yang ditanggung para santriwati. 

Saatnya keadilan berdiri tegak, dan pesantren kembali menjadi tempat yang aman, bersih, dan bermartabat.