Muhammadiyah sebagai organisasi yang bisa dibilang kaya akan amal usaha yang biasa disebut Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, sampai ekonomi pun di miliki oleh Muhammadiyah.
Melihat banyaknya Amal Usaha Muhammadiyah terkhusus di bidang pendidikan, tentu menjadi solusi tersendiri bagi Organisasi Otononom Muhammadiyah (ORTOM), dalam melaksanakan kegiatan dakwah dan kaderisasi, tak terkecuali Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), yang memiliki basis massa pelajar.
Karena fungsi pengembangan Amal Usaha Muhammadiyah adalah sebagai alat pengembangan dakwah persyarikatan Muhammadiyah. Jadi kalau ada amal usaha Muhammadiyah yang tidak berfungsi sebagai alat pengembangan dakwah maka perlu di evaluasi.
Evalusi yang saya maksud adalah, keterbukaan dari kegiatan-kegiatan IPM yang menjadikan Sekolah Amal Usaha Muhammadiyah sebagai pusat kegiatan dan kaderisasi.
Namun tak sedikit dari Birokrasi Sekoslah AUM malah tertutup dan membatasi ruang gerak IPM. Contoh terkecil ketika IPM melaksanakan kegiatan kaderisasi (PKDTM 1), tak sedikit adik-adik di pimpinan cabang dan ranting agak sulit untuk mendapatkan izin dalam berkegiatan. Padahal kelahiran IPM mempunyai dua nilai strategis. Pertama, IPM sebagai aksentuator gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar di kalangan pelajar. Kedua, IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawa misi Muhammadiyah pada masa mendatang.
Banyaknya AUM, maka yang mengisi AUM pun pastinya orang bermacam-macam pula, bisa jadi dari mereka yang bukan 'lahir' dari muhammadiyah. Melihat realita yang ada, memang banyak mereka yang berada di AUM tidak beridiologi dan tidak bermuhammadiyah atau mungkin bermuhammadiyah saat mengikuti Baitul Arqam.
Dari sini pun saya teringat dengan kalimat KH. Ahmad Dahlan yang saya dengar di film sang pencerah "tidak penting siapa kita, tapi bagaimana kita terhadap ummat. Maka sebenarnya tidak heran jikalau Muhammadiyah sangat berbaik hati dan mau menerima siapapun mereka para tenaga profesional meski bukan orang muhammadiyah.
Namun yang kita perlu pahami bersama makna “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah,” jangan sampai di ubah menjadi “Hidup di Muhammadiyah, dan cari Penghidupan dari Muhammadiyah”. Mungkin dengan mengajar di sekolah atau pun bekerja di AUM meski bukan dari warga Muhammadiyah bisa dibilang menghidupkan Muhammadiyah pada AUM-nya, namun berada di AUM tetapi enggan bermuhammadiyah bisa dikatakan –maaf—hanya menjadi parasit dengan cuma mencari penghidupan di Muhammadiyah.
Lepas dari itu yang harus di garis bawahi dengan adanya orang luar Muhammadiyah, apalagi seorang aktivis organisasi lain yang mengisi birokrasi Sekolah Amal Usaha Muhammadiyah harus lah paham akan TUPOKSI kerja AUM dan Lembaga Otonom Muhammadiyah, jangan sampe Organisasi Otonom Muhammadiyah malah asing di rumah sendiri.
Penulis
Asrianto Rajab
Kabid Advokasi dan Kebijakan Publik PD IPM Gowa